ARINI

Seekor kupu-kupu Plain Tiger berukuran sedang terbang di antara kelopak asoka kuning yang bermekaran. Berputar-putar di atasnya, lalu hinggap. Menyesap sari-sari bunga sesaat, lalu terbang berputar-putar lagi. Warna sayapnya yang coklat keemasan dengan garis-garis hitam yang tipis membuat penampilannya tampak sangat menarik. Namun, itu tak cukup membuat seseorang memalingkan wajah untuk sekedar menatap keindahan itu. Arini duduk termangu. Sendiri. Raganya ada di sana, namun pikirannya sudah berkelana entah kemana. Kepalanya berisik dan penuh. Isinya berjejalan seolah ingin segera dikosongkan.
Arini mendesah panjang. Udara yang ia tarik seperti tak juga cukup untuk memenuhi paru-parunya.
“Rin…sudah bel. Ayo masuk kelas!”
Arini tersentak. Tepukan kecil di pundaknya membuat lamunannya terhenti. Ia hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah teman sebangkunya menuju kelas mereka.
“Kamu kenapa sih, Rin? Dari tadi aku lihat kamu melamun terus. Bahkan bel masuk kelas berbunyi pun tak kamu dengarkan,” tanya Alisa hati-hati.
Arini hanya menggeleng kecil, menandakan ia tak siap untuk menceritakan segala gundah yang telah merajai hatinya. Ia masih belum siap membagi segala keresahan yang akhir-akhir ini membuatnya repot mengatur emosi di dadanya.
….
Pukul lima belas lebih lima menit, Arini masih duduk termangu di bangkunya. Rasanya ia enggan pulang. Ia masih juga tidak rela enam bulan ke depan akan hadir seorang bayi di antara ia dan ayah ibunya. Ya, Arini akan mempunyai seorang adik. Mengingat kenyataan itu, dunia Arini seolah runtuh. Di usianya yang akan menginjak lima belas tahun, Arini merasa sangat tidak pantas menjadi seorang kakak. Ia tidak siap menjadi bahan olok-olokan teman-temannya.
Terbiasa sendiri, menjadikan Arini sebagai satu-satunya penerima kasih sayang kedua orang tuanya. Ia enggan menerima separuh. Utuh dan tak pernah terbagi. Lalu tiba-tiba, dalam waktu yang tak lagi lama akan hadir seseorang yang baginya sangat asing. Seseorang yang membuatnya terpaksa berbagi semua hal. Arini tidak siap. Ingin ia berteriak sekencang-kencangnya. Ingin ia minta pada Tuhan sosok adik yang sejak lama diharapkan ayah dan ibunya tidak akan pernah ada.
…..
Sabtu pagi, Arini libur sekolah. Ia hanya bermalas-malasan di rumah. Ia enggan untuk melakukan apa-apa. Hatinya masih belum baik-baik saja.
“Rin…ayah ingin bicara, boleh?” ayah Arini menghempaskan dirinya di sofa di samping Arini berbaring. Arini hanya mengangguk, lalu duduk.
“Tahukah kamu apa tanda seseorang dikatakan sudah dewasa?,Tanda seseorang dewasa itu adalah ia sudah bisa menerima apa yang telah ditetapkan Tuhan. Ayah tidak memaksa. Ayah hanya berharap suatu saat kamu akan bisa menerima meskipun pelan-pelan. Ayah dan ibu janjikan semua akan tetap sama. Tidak ada yang berbeda. Kamu tetap Arini yang sangat ayah cintai dan banggakan.”
Arini menghela napas panjang sembari memalingkan wajah ke arah lain. Terlalu banyak pertimbangan, dan entah kenapa ia masih juga keberatan untuk punya adik sendiri. Adik? Sekarang Arini benar-benar merasa kesal. Jujur saja, terkadang Arini merasa kesepian. Dulu, Arini juga berpikir kapan ia akan punya adik yang lucu dan menggemaskan. Arini menghela napas kembali, lalu mengusap wajahnya dengan pelan. Ia menatap wajah ayahnya yang tampak lelah.
“Akan Arini coba terima, Yah!”
….
Jenuh di rumah , Arini bergegas menghubungi Alisa, sahabatnya. Ia ingin mengembalikan buku catatan matematika yang sempat ia pinjam sekaligus mengunjungi teman sebangkunya itu di rumahnya. Sesampai di rumah Alisa, Arini disambut oleh seorang gadis kecil bermata bulat dan jernih. Ia memiliki rambut yang ikal dan lembut. Lesung kecil tampak di pipinya ketika ia tersenyum malu-malu. Arini membayangkan, jika ia punya adik pasti lucu dan menggemaskan seperti adik Alisa. Tiba-tiba dada Arini menghangat saat ia melihat kakak beradik itu saling berinteraksi. Alisa menggoda adiknya penuh sayang. Gadis kecil itu lalu tertawa-tawa bahagia.
“Kamu sayang adikmu, Lis?” tanya Arini penasaran.
“Tentu saja, Rin. Meski kadang adikku menyebalkan tapi aku sangat menyayanginya. Ia akan menjadi sahabat dan saudaraku yang paling setia.” Jawab Alisa dengan senyum merekah.
“Tak malukah kamu masih punya adik kecil?” tanya Arini lagi.
“Kenapa harus malu? Justru aku sangat bahagia punya adik saat aku sudah besar. Aku sudah mampu membantu ibuku mengasuh adikku.”
Lalu mengalirlah cerita panjang lebar Alisa tentang kebahagiaannya punya seorang adik. Arini hanya mengangguk-angguk. Mendengar penjelasan Alisa, sedikit demi sedikit pikirannya mulai terbuka. Mungkin punya adik tidak semenyeramkan seperti yang ia kira. Senyum kecil tersungging di bibir Arini. Ia akan berusaha menerima.
Saat sedang asyik bercengkerama dengan Alisa, tiba-tiba notifikasi pesan baru di hp Arini berbunyi. Arini buru-buru membukanya. Ternyata pesan itu dari ayahnya.
“Rin…pulang! Ibu jatuh di kamar mandi.”
…..
Langit pun menangis. Hujan turun pelan namun akhirnya semakin deras, seperti menyiram tanah agar lebih mudah menerima seseorang dalam tidur panjangnya. Sebelum pergi, Arini mendongak menatap nisan kecil itu dengan perasaan hampa. Air mata itu entah sejak kapan berkumpulnya, tiba-tiba sudah mengalir saja. Ia biarkan air mata dan hujan menyatu di pipinya. Meski pandangannya mengabur oleh luapan duka, Arini berusaha menempatkan sebuah kerelaan di dadanya. Baru kali ini ia menyesal Tuhan kabulkan doanya. Kini, Tuhan telah mengambil adiknya yang bahkan wajahnya pun belum pernah ia tatap. Arini kembali menangis pilu. Air matanya tak juga mau susut meski berkali-kali ia telah menghapusnya. Arini sungguh merana. Ia telah mematahkan harapan sekaligus kebahagiaan kedua orang tuanya. Usapan pelan di pundaknya membuat Arini mendongak. Wajah pucat dan lelah ayahnya yang pertama kali ia lihat.
“Rin…pulang. Relakan adikmu berbaring sejenak untuk suatu saat menunggu kita di pintu surga.”
Arini mengangguk. Ia mengikuti ayahnya yang berjalan pelan menembus hujan yang belum juga reda. Sesaat Arini menengok lagi ke belakang.
“Maafkan..kakak dik…” ucap Arini sambil menyusut air mata yang masih berhamburan.
….Terima kasih sudah membaca…..

Pertanyaan yang wajib dijawab setelah membaca cerpen di atas:
1. Apa saja alasan Arini tidak ingin punya adik?
2. Pesan apa saja yang dapat kamu peroleh dari cerpen di atas?
3. Tulislah pengalamanmu (boleh menyenangkan atau menyedihkan) yang sampai saat ini masih membekas di ingatanmu!